"Hijrah"
Sudah lama ingin menuliskan kisah hijrah ini, tapi entah mengapa baru dapat saya sampaikan..
Semenjak SMA saya suka heran dengan mba-mba rohis yang jilbabnya lebar, dan setiap bertemu saya, selalu menjabat tangan dan cipika cipiki, padahal saya tidak mengenal mereka. Lalu saya berkaca, "kenapa ya mba2 itu?" padahal jilbab saya gak selebar mereka. Saya tidak faham bahwa itulah sebaik2nya pakaian muslimah. Pemahaman agama saya teramat sangat lemah, meski saat itu sekolah memfasilitasi taklim pekanan.
Selang waktu berlalu takdir Allah ternyata mengizinkan saya untuk tinggal dan menuntut ilmu di belahan bumi-Nya yang lain. Suatu negara dimana Muslim menjadi hal yg tabu bagi mereka. Suatu kota yg hanya saya beragama Islam. Tidak ada masjid, tidak ada adzan, apalagi perempuan yang berhijab. Dari situ sebenarnya sudah ada keinginan untuk berhijab lebar, karena Qadarallah, justru kedekatan pada Allah sangat terasa ketika saya menjadi sosok yg single fighter di negeri orang. Segala keluh kesah hanya bermuara pada Allah dan airmata. Namun, apalah daya, seumuran anak SMA seperti saya kala itu, sendirian dan tidak punya pemahaman yg mantap ttg Islam dan pakaian muslimah, akhirnya niatan berhijab lebar pun hanya sekedar niatan semu.
Dulu saya tidak faham apa itu berhijab syar'i, yang hanya saya tau muslimah itu diwajibkan menutup aurat. Meskipun bgitu, saya sempat berpikir, andaikan kala itu saya lebih lama lagi di negeri orang, pasti saya sudah berhijab lebar. Karna saya melihat kedamaian di wajah
muslimah yg berhijab lebar dan rapi. Terlebih lagi waktu itu sedang booming film Ketika Cinta Bertasbih, di mana pemain utamanya mayoritas berlatar belakang pendidikan yg syar'i dan mengenakan pakaian kehormatan bagi muslimah. 😄
Walau niat utk berhijab lebar kala itu tidak terealisasi sempurna, tidak sekalipun saya ingin menanggalkan hijab saya meski banyak yang bertanya "Buat apa dipakai di sini, kan kamu bukan di Indonesia.", "Apakah kamu setiap saat kamu harus mengenakannya?", "Kalau mandi dicopot gak?"
Haha.. Saya tau akhirnya, menurut mereka Jilbab ini hanya kebudayaan, bukan bagian yg melekat dari agama seseorang.
Beberapa waktu berlalu dan kembalilah saya ke pangkuan Ibu Pertiwi, dan masih mengenakan jilbab yang "yaaah yang penting nutupin kepala dan leher laah". Namun terKadang, kenyataannya , berada di negeri yang membebaskan seorang muslimah berhijab sesuai syariat malah melalaikan saya utk taat kepadaNya.
Hingga akhirnya di tahun 2013, tepatnya tgl 7 Oktober, pag. Itu saya ingin pergi kuliah dengan hijab syar'i.
.
Bismillah...
Ketika itu saya malu-malu, hingga saya memilih utk menutupinya dengan jaket yang agak besar agar orang rumah tidak menyadari.
Saya tidak punya khimar yg syar'i maka saya ambil 2 lembar kerudung paris agar idak tembus pandang. :D
Setelah 2 3 hari, akhirnya teman2 menyadari perubahan saya dan suka kepo tanya "koq skarang udah berubah?"
Saya tidak pernah mnjawab dengan serius, tapi kali ini saya akan menulis dengan jujur. Bahwa semua berasal dari kecemburuan saya kepada seorang akhwat yang hanya saya tau namanya dan tulisan2nya.. Saya cemburu, sebab bagi saya Ia lebih mencintai Allah ketimbang saya mencintai Allah. Ia lebih bersemangat berdua-duaan dengan Allah, sedangkan saya masih lalai. Akhwat itu membuat saya ingin mengejar cintaNya, Allah. Apakah akhwat itu mengetahui saya? YA. Hanya saja saya pun tau, dalam hatinya mgkin tersimpan rasa tidak suka yang begitu besar terhadap saya. Sehingga itu menyulitkan saya utk menyampaikan padanya. Mengapa begitu? Mungkin hanya jadi rahasia Allah, Ia dan Saya.
Walau berawal dari niatan itu, pelan-pelan saya menulusuri segala hal yg berkaitan dengan Islam dan bagaimana seharusnya muslimah itu berpakaian.. Allah..
Berislam sejak lahir tapi baru kali itu saya ingin belajar Islam (semoga Allah mengampuni keterlambatan ini).
Seperti orang yg sangat haus akan ilmu, saya menggali ilmu praktis melalu internet dan video2 islami, namun masih terasa ada kekosongan bila tidak berilmu dari majelis. Akhirnya saya mencoba bergabung lagi di halaqoh yg bertahun2 prnah saya tinggalkan. Dan sebaliknya, saya tinggalkan pertemuan2 yg tidak ada manfaatnya, perlahan aKhirnya teman-teman saYa menyadari bahwa saya mgkin tidaK Asik lAgi untuk diajak ngumpul atau sekedar nonton bAreng.
Dan suatu ketika, dalam renungan saya di perjalanan, airmata saya mengalir sambil memandang langit, (agak Lebay) , mensyukuri betapa kuasanya Allah menggiring saya menuju kepadaNya. Meski harus melalui org lain. Ya muqallibal quluub, tsabbit quluubana 'alaa diinnik. La hawla wa la quwwata illa billaah...
10 tahun berjilbab, baru itu saya faham betul makna menutup aurat.
Saya tidak tau apakah ini yang dinamakan hidayah.. Saya hanya bersyukur bahwa saat ini nikmat iman dan Islam itu begitu meresap di hati. Selalu ada perasaan sangat hina setelah melakukan dosa. Tidak seperti dulu yang merasa biasa saja. Astaghfirullah ...
Hijrah ke penampilan yang syari pula akhirnya menginspirasi saya untk menjadi bagian pjuang dakwah dalam berhijab syar'i dengan berdagang khimar. Hitung2 mengikuti jejak Rasulullah dalam menyebarkan dakwah melalui jalur berdagang..bukan bergadang :P Ingin memudahkan diri sndiri jika ingin membeli khimar dan memudahkan teman-teman yg lain. Rasanya juga jadi haru setiap ada teman yg pelan2 ingin merubah penampilannya..
Namun bukan berarti hijrah ini tanpa ujian. Saat teman-teman sanak saudara senang melihat perubahan saya, ternyata kekhawatiran itu dtg dari orgtua sendiri. Suatu malam, mendidih kepala ayah dan ibu saya sebab mereka melihat perubahan saya ini tidak wajar. Krna saya pelan2 mendalami ilmu yang sunnah, saya pun meninggalkan perkara bid'ah yang terkadang masih ada dalam keluarga, dan ternyata itu memancing amarah kedua orgtua saya yg barangkali khawatir saya terikut aliran sesat dsb. Saya dan ibu berlinang airmata. Panas rasanya hati dan telinga ini mendengar kekhawatiran Ayah dan Ibu yg begitu besar, sehingga kata2 terdengar perih bagai sembilu. Ingin rasanya menjelaskan dengan lancar dan lembut bahwa semua ini saya lakukan semata-mata krna ingin meraih cintanya Allah, namun suara saya tenggelam dalam isak tangis berjam-jam.
Tapi ternyata dari situ lah akhirnya pelan2 perubahan saya sedikit bisa diterima. ibu saya pun perlahan mengenakan hijab syar'i, tidak pernah lagi saya lihat ibu melilitkan hijabnya, meski terkadang ibu masih lupa mengenakan kaus kaki, tapi saya bersyukur bhwa orgtua akhirnya mengerti jalan hijrah ini penting..
Kemudian suatu hari, saya pun akhirnya memberanikan diri menemui akhwat yang turut berjasa dalam perjalanan hijrah ini. Saling bertukar cerita sekedarnya dan bicara perkara hati dan perempuan. Awkward memang, tapi saya harus cukup senang dgn pertemuan pertama itu. Meski saya tau, sampai detik ini mungkin Ia tak bisa menerima sepenuhnya keinginan saya untuk menjadi saudarinya, karna lagi-lagi hati wanita itu sulit dijamah. Saya pun tak tau mengapa. Namun doa selalu saya selipkan untuknya agar suatu hari kami bertemu dalan keadaan yg lebih baik dan Allah meridhoi pertemuan itu.
Dan perjalanan hijrah ini tidak akan semanis tanpa rahmat dan kasih sayangNya kepada hambaNya yg masih berselimut dosa ini. Sungguh, dengan berawal dari memperbaiki penampilan kemarin, serasa Allah jadi lebih dekat, dan tidak ada permasalahan yAng terlalu sulit untuk diselesaikan.
http://atmaidha11.blogspot.co.id/2015/02/perjalanan-itu-bernama-hijrah.html
bagus postnya kak
BalasHapusterimakasih..
Hapusterimakasih..
Hapuswanita muslimah
BalasHapusTerima Kasih info nya kak
BalasHapusseorang muslimah berahklak itu lebih baik dari seribu wanita...bales
BalasHapusnice
BalasHapus